"Nusa Tenggara Timur- Adat Atambua Kabupaten Belu"
HAFOLI MALU SEI MORIS
ATAMBUA
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Husar Binan Rai Belu
Tetuk No Nesan Diak No Kmanek
Sarwisu Nu Ata, Ha Nu Nain
Dengan Persaudaraan Orang Belu,
Kita Capai Kesejahteraan yang serasi dan Seimbang
Bekerja Seperti Hamba, Makan Seperti Raja
---
Ema Malae !!
Selamat Datang di Atambua Kota Beriman
Luas wilayah:
56.18 km²
Populasi:
62.542 Jiwa (2005)
Sukubangsa:
Pribumi: Timor Belu
Pendatang: Dawan, Tionghoa, Jawa, Bugis
Bahasa:
Tetun
Agama:
Katolik (95%)
Jarak dengan ibukota provinsi:
283 Km
KABUPATEN Belu yang berada di bagian timur Pulau Timor menjadi
perhatian pemerintah
Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir. Posisi kabupeten yang berbatasan dengan Negara Timor Leste ini
menjadi perhatian dunia pada tahun 1999 ketika gelombang pengungsi warga Timur
Timur memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Kabupaten
Belu.Hubungan antara orang Belu dan Timor Leste memiliki sejarah yang sangat
panjang. Bahkan beberapa etnis di Belu berasal dari Timor Leste. Tidak heran
bila hubungan kekerabatan antara orang Belu dan orang Timor Leste sangatlah
kuat. Orang Belu terdiri dari etnis Tetun, Bunaq, Kemak dan Dawan.
Kata Belu
yang mengandung makna batinia menggambarkan ikatan jalinan hubungan batinantara
kedua pihak, baik yang terikat dalam hubungan "alinmaun" antara dua
pihak yang terkaitdalam"alinmaun" tersebut. Sementara Belu dalam arti
rohania adalah mengungkapkan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Disebutkan
juga, orang Belu selalu memberikan penghargaan kepada sesamanya, baik yang
dikenal maupun yang tidak dikenal. Mengakrabkan diri dengan sesamanya pada
hubungan antar pribadi, kelompok dan antar etnis dalam suasana keakraban
melalui gotong royong, tradisi perkawinan dan ritual upacara adat yang bersifat
sakral dan lain- lain.
Dengan
demikian, istilah Belu (sahabat) berakar dari falsafah orang Belu yang terdiri
dari etnis Tetun, Bunaq, Kemak dan Dawan yang senantiasa menjalin hubungan
persahabatan, gotong royong, kekerabatan, toleransi anatara mereka maupun
dengan sama lainnya.
SEJARAH
Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah
di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah 'Suku Melus.'
Orang Melus dikenal dengan sebutan Emafatuk oan ai oan (manusia penghuni batu
dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekarorangnya dan bertubuh
pendek.
Selain para pendatang, yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari Sina Mutin
Malaka. Malaka sebagai tanah asal-usul pendatang di Belu yang berlayar menuju
Timor melalui Larantuka.
Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai
versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang
dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan
tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu
menurut para tetua adat masing-masing daerah berlainan.
Dari makoan Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay),
dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro
Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan).
Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah
Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Naik.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki
wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya.
Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar
daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.
Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh Maromak Oan
Liurai Nain di Belu bagian Selatan. Bahkan menurut para peneliti asing Maromak
Oan kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (Insana dan
Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Belu, maromak Oan memiliki perpanjangan
tangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi
dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, Maubara, Biboki dan
Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan
Wewiku-Wehali.
Para pendatang di Belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan
Utara sebagaimana yang terjadi sekarang.
Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian selatan dan utara
hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem
pengontrolan terhadap masyarakatnya.
Dalam keadaan pemerintahan adat tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja-
raja dengan apa yang disebutnya Zaman Keemasan Kerajaan. Apa yang kita catat
dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali
(pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di
daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa
masyarakatnya.
Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah
pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke
seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama-nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro
Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas
dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin
Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu,
Asumanu, Lasiolat dan Lidak.
Selain itu, ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam
perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah
di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang
dikenal dengan nama As Tanara membawahi Dasi Sanulu yang dikenal sampai
sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau, LIdak,
Tohe Manumutin, dan Aitoon.
Dalam berbagai penuturan di utara maupun di selatan terkenal dengan nama empat
jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu
Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe,
Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain.
Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak
kelihatan itu yang menandai asal û usul pendatang di Belu membaur dengan
penduduk asli Melus yang sudah lama punah. (sumber: Bappeda Kabupaten Belu)
(pde@belukab.go.id/bersambung)
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Husar Binan Rai Belu
Tetuk No Nesan Diak No Kmanek
Sarwisu Nu Ata, Ha Nu Nain
Dengan Persaudaraan Orang Belu,
Kita Capai Kesejahteraan yang serasi dan Seimbang
Bekerja Seperti Hamba, Makan Seperti Raja
---
Ema Malae !!
Selamat Datang di Atambua Kota Beriman
Luas wilayah:
56.18 km²
Populasi:
62.542 Jiwa (2005)
Sukubangsa:
Pribumi: Timor Belu
Pendatang: Dawan, Tionghoa, Jawa, Bugis
Bahasa:
Tetun
Agama:
Katolik (95%)
Jarak dengan ibukota provinsi:
283 Km
Selain para pendatang, yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari Sina Mutin Malaka. Malaka sebagai tanah asal-usul pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka.
Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing-masing daerah berlainan.
Dari makoan Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Naik.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.
Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh Maromak Oan Liurai Nain di Belu bagian Selatan. Bahkan menurut para peneliti asing Maromak Oan kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (Insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Belu, maromak Oan memiliki perpanjangan tangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, Maubara, Biboki dan Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Para pendatang di Belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi sekarang.
Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian selatan dan utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya.
Dalam keadaan pemerintahan adat tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja- raja dengan apa yang disebutnya Zaman Keemasan Kerajaan. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya.
Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama-nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak.
Selain itu, ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara membawahi Dasi Sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau, LIdak, Tohe Manumutin, dan Aitoon.
Dalam berbagai penuturan di utara maupun di selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain.
Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal û usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah. (sumber: Bappeda Kabupaten Belu) (pde@belukab.go.id/bersambung)
Arti Logo
Bentuk
Ø Perisai
melambangkan alat perlindungan rakyat
Ø Sisi
Lima melambangkan Pancasila sebagai Dasar Negar
Ø Warna Dasar. Warna dasar Lambang Daerah
Kabupaten Belu adalah kuning, merah, hitam, coklat, hijau dan putih; diambil
dari warna utama kain tenunan rakyat Kabupaten Belu, yang mempunyai arti :
Ø Kuning
adalah keluhuran/keagungan/kejayaan
Ø Merah
adalah keberanian
Ø Hitam
adalah teguh abadi
Ø Coklat
adalah ketabahan hati
Ø Hijau
adalah kemakmuran
Ø Putih
adalah kesucian
Ø Arti Gambar Lambang
v Bintang
berwarna emas, melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberi hidup
dan menyinari tata kehidupan rakyat Kabupaten Belu pada khususnya dan rakyat
Indonesia pada umumnya.
v Pohon
Beringin, yang melambangkan persatuan dan tempat berlindung terletak dibawah
pita putih yang bertuliskan BELU, yang berarti Kabupaten Belu memelihara
persatuan dan melindungi segenap rakyat Indonesia yang berada di Kabupaten
Belu.
v Bibliku/Tihar,
merupakan alat kesenian tradisional Kabupaten Belu sebagai lambang pelestarian
kebudayaan Belu dan Bangsa Indonesia
v Surik
Samara, kelewang tradisional yang bertuah sebagai lambang kesiapsiagaan rakyat
Kabupaten Belu untuk memerangi musuh – musuh yang merusak persatuan dan
mengganggu keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dan rakyat Belu.
v Padi
sebanyak 20 butir berwarna kuning dan batang kapas berwarna hijau sedang
berbunga 12 kuntum dihubungkan dengan pita berwarna putih dan tulisan angka
1958, melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus sejarah berdirinya
Nusa Tenggara Timur dan kelahiran Kabupaten Belu pada tanggal 20 Desember 1958.
v Dibawah
butir-butir padi terdapat daun bawang putih sebanyak 5 helai berwarna hijau dan
dibawah daun-daun kapas terdapat 8 lembar daun cendana sebagai lambang produk
andalan Kabupaten Belu.
Nilai Budaya
Hamis
Batar Hatama Manaik
Upacara Hamis Batar merupakan salah satu bentuk kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakatBelu yang dipimpin oleh Tetua Adat nya menyambut
musim petik jagung atau panen jagung,sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih
kepada Sang Pencipta.Hamis menurut bahasasetempat berarti sukur dan batar
berarti jagung. Masyarakat percaya bahwa hasil jagung yang akan mereka peroleh
merupakan karunia Sang Pencipta. Rasa syukur ini diwujudkan denganmempersembahkan
jagung yang terbaik hasil panen kepada Yang Maha Kuasa.Sebelum upacara dimulai para kepala keluarga turun ke kebun masing-masing untuk memetik sebuah jagung termuda dan paling bagus. Setelah itu mereka berkumpul di tempat upacara dan diadakan seleksi jagung yang paling bagus. Jagung yang paling baik kemudian diletakkan di troman (tiang agung) yang terbuat dari tumpukkan batu yang dikelilingi batu-batu kecil untuk meletakkan jagung baik yang lainnya.
Setelah semua batu tertutup oleh jagung muda, Ketua Adat kemudian memimpin doa persembahan jagung kepada Sang Pencipta dan memohon agar jagung yang dipanen bermanfaat. Seusai berdoa, upacara dilanjutkan dengan menyebar jagung-jagung ke seluruh kebun untuk dipersembahkan kepada Penguasa Tanah, Foho Norai, yang telah memberikan tanah dan kesuburan jagung. Upacara dilanjutkan dengan batar babulun, pencabutan pohon jagung secara utuh, untuk dibawa ke kampung dan diikat pada tiap-tiap kayu tiang agung yang sesuai dengan fungsinya, yaitu karau sarin(untuk beternak sapi), fahi ahuk (untuk beternak babidan fatuk(untuk orang-orang tua atau ektua adat). Seiring dengan upacara tersebut diadakan batar fohon, yaitu acara pemotongan batang buah jagung menjadi 12 potong untuk diserahkan kepada Ketua Adat, dan selanjutnya Ketua Adat menentukan waktu upacara inti.Upacara inti hamis batar itu sendiri merupakan proses persembahan sesaji/jagung-jagung yang baik yang telah dikupas dan dibakar kemudian dimasukkan kedalam gantang penyimpanan jagung yang disebut hane matan untuk dipersembahkan di tempat-tempat yang dianggap keramat (We Lukik, Rai Bot dll. Pada proses pembakaran jagung, api yang digunakan merupakan api khusus yang disebut Tahu Hai yang dibuat oleh ketua adat dengan menggosokkan sepotong batu berwarna merah dengan sepotong besi yang disertai serbuk dari pohon enau. Pembakaran dilakukan dengan tiga buah tungku yang diiringi dengan pembacaan doa oleh ketua adat.
Hatama Manaik
Upacar hatama manaik merupakan pelengkap upacara hatama batar, yaitu proses upacara persembahan jagung muda (manaik) dari masyarakat kepada pemimpin masyarakat/raja sebagaiungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas kepemimpinannya.Dalam proses upacara hatama manaik dari awal hingga akhir diatur oleh penghubung raja yang biasa disebut Kaburai.
v ADAT PERKAWINAN
PATRILINEAR SUKU TETUN
BELU UTARA
Mengenal Perkawinan Kabupaten Belu
khususnya Suku Tetun
Belu Utara Ada tiga jenis perkawinan
yang pada umumnya diharamkan oleh masyarakat Belu, baik pada masyarakat
matrilineal maupun patrilineal antara lain sebagai berikut, 1. Feton oan, yaitu
perkawinan antara saudara sekandung. Jika terjadi maka ungkapannya: asu matan
at (anjing yang buta matanya). 2. Oan susun, yaitu perkawinan antar ayah dengan
anak kandungnya. Jika terjadi pelanggaran tersebut, maka diistilahkan asu na
nikar oan, manu nemu nikar tolun (anjing memakan kembali anaknya, ayam meminum
kembali telurnya) 3. Oan no inan, yaitu perkawinan antara anak laki-laki dengan
ibunya. Jika terjadi pelanggaran, maka perbuatannya dikatan asu sae tetu, asu
nador kaok (anjing menaiki loteng, mengotori sarang). Apabila terjadi
perkawinan incest maka akan dihukum dengan hukuman yang keras yaitu pria dan
wanita dipaksa untuk mengisap usus babi (fahi ten), serta dikucilkan dari suku
(lelen sai). Perkawinan yang dibenarkan dalam adat perkawinan Belu, antara lain
sebagai berikut, 1. Anak saudara dikawinkan dengan anak saudari (nan niti hein
feto).. 2. Anak mengawini bekas istri pamannaya (oan nola nikar nian kii baki)
3. Paman mengawini kembali bekas istri keponakannya (baba nola nikar nian uma
nain uma ruin)
”Model perkawinan ini semakin
ditinggalkan seiring dengan perkembangan zaman yang
menganggap bahwa model perkawinan
tersebut tidak baik.”
Ada dua macam sistem perkawinan adat
yang dianut oleh masyarakat Belu, yakni system
perkawinan patrilineal
(perkawinan yang menganut garis keturunan ayah), dan sistem matrilineal (perkawinan
yang menganut garis keturunan ibu). Sistem perkawinan yang akan dibahas dalam
paper ini adalah sitem perkawinan Patrilineal. 2.2. Sistem Perkawinan
Patrilineal Bentuk perkawinan ini bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan
kelewang agar bisa membeli putus istri. Hal ini berarti istri masuk dalam
keluarga lelaki atau suami. Di sini terlihat bahwa kedudukan wanita
sangat tinggi derajatnya karena wanita sesudah kawin dianggap sebagai uma nain
atau wanita tuan rumah. Keunikan dari perkawinan patrilineal adalah membayar
mahar kawin atau belis sebanyak 24 jenis dengan rincian meliputi uang perak,
uang emas, selimut tenun ikat dan sulam, hewan besar, bahkan sampai tanah.
Berhubung martabat wanita begitu besar maka pihak keluarga atau klan penerima
gadis harus bergotong royong untuk
membeli
putus gadis tersebut. Mahar kawin atau belis tersebut menjadi penentu derajat
sang suami menjadi lebih tinggi apabila dipenuhi. Perkawinan patrilineal
mempunyai beberapa akibat yaitu sebagai berikut: 1. Istri menerima suku suami
dan dihormati sebagai wanita utama dalam suku deu gomo dan suaminya momen mone
(lelaki tua) 2. Sang suami mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya. 3.
Anak-anak masuk anggota suku ayah. 4. Hubungan malu ai bersifat abadi 5.
Poligami tidak diizinkan, demikian pula tidak ada perceraian 6. Berzinah
dihukum dengan potong kepala 2.3. Tahap Sistem Perkawinan Patrilineal Daerah
Belu Adapun tahap-tahap yang harus dilewati oleh seorang pemuda dan seorang
pemudi menjelang upacara perkawinan adalah sebagai berikut :
Ba’boe
ü
(Masa
Pacaran) merupakan kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Membuka
diri untuk menerima segala masukan sebagai persiapan dalam memasuki masa yang
akan datang. Lolo leten (Tahap pengenalan secara akrab)
ü
Pada tahap
ini, pihak keluarga dari kedua insan pun dilibatkan karena ditahap ini,
pasangan muda-mudi akan memutuskan sebuah kesepakatan penting dalam rangka
perkawinan nanti.
Perlengkapan
yang harus disiapkan oleh si pria pada tahap ini adalah fuik (sirih) dan bu’a
(pinang).
Acara ini dilakukan hanya pada malam hari. Caranya ialah si pria harus ke rumah
si gadis dan menyodorkan sirih pinang yang dibawanya melalui pintu depan rumah
bagian atas dalam keadaan terkunci. Keduanya hanya boleh berkomunikasi tanpa
bertatapan langsung antara mata dengan mata. Labu feto (Pelamaran)
ü
Setelah
mencapai kata sepakat bahwa kedua pihak setuju untuk melangsungkan perkawinan,
maka tahap berikutnya ialah si pria harus melamar si gadis dengan resmi. Tahap
ini dilakukan dengan cara, yaitu dengan aikalete (jembatan) dan tanpa aikalete.
Aikalete bertugas sebagai penghubung antara kedua belah pihak.
Perlengkapan yang harus dibawa adalah berupa sirih- pinang dan terkadang
dibawa pula emas (kalung, anting, gelang dsb). Tara horak (Tukar cincin)
ü
Tahap ini
dikenal dengan fuik tahak-bua tahak atau fuik husu-bua husu, yaitu persiapan
meminang. Peminangan itu sendiri dapat berakhir dengan tara horak (tukar
cincin). Sang pemuda dan keluarga membawa siri pinang, uang perak, cincin emas
satu pasang, dan benang sesuai adat kebiasaan, sedangkan keluarga perempuan
menyiapkan kain sarung adat dan lain sebagainya. Tahap pertunangan (Jodoh)
ü
Pada tahap
ini, si pria dan si gadis tidak diperkenankan untuk berpacaran dengan pasangan
lain sebab keduanya telah diikat dengan cinta sejati yang akan disatukan pada
puncak perkawinan nanti. Bahkan lebih dari itu, si gadis akan dikurung untuk
tidak boleh keluar rumah kecuali mendapat persetujuan khusus dari orang tua. Ha
lia (puncak perkawinan = pesta adat meriah)
ü
Puncak
dari semua tahap yang dilewati berakhir dengan upacara perkawinan (pesta adat
meriah) di rumah si gadis. Keluarga dari kedua pihak akan hadir semuanya untuk
menyaksikan awal kehidupan keluarga baru ini dengan memberikan saran dan
pengetahuan tertentu yang dikenal
dengan
istilah sadan umakain. Tua-tua adat dari kedua belah pihak akan berkumpul di
suatu labis (tempat duduk) untuk memberikan nasihat kepada pengantin baru yang
akan memulai hidup baru. Nasihat-nasihat itu menjadi bekal dan modal
utama dalam mengarungi bahtera hidup. Tahap pemindahan wanita ke keluarga
laki-laki.
ü
Pada tahap ini keluarga lelaki
datang menjemput mempelai wanita. Biasanya ada pihak keluargawanita yang ikut
mengantar ke rumah lelaki. Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu Maksud dan
tujuan adat perkawinan di Belu digolongkan menjadi dua bagian yaitu sebagai
berikut:
1. maksud dan tujuan tahap adat perkawinan di
suku Marae dan suku Kemak di Belu Utara adalah:
a) perkawinan patrilineal merupakan
perkawinan yang dikenal di Belu Utara yang bertujuan untuk menegakkan kembali
tombak dan kelewang supaya dapat membeli putus istri. Dengan demikian istri
dimasukan dalam klan suami.
b) Mempererat hubungan antara klan
pemberi wanita dan klan penerima wanita.
c) Untuk mendapat keturunan yang
akan menjadi ahli waris dalam keluarga lelaki.
d) Agar tradisi adat perkawinan yang
berlaku dipertahankan keberadaannya.
e) Agar setiap perkawinan tidak menyimpang
dari ketentuan adat yang berlaku f) Setiap tahapan adat perkawinan yang luhur
itu dihargai dan dihormati secara turun-temurun.
2. Maksud dan tujuan tahapan perkawinan adat
suku Tetun dan Buna di Malaka (Belu Selatan), yaitu sebagai berikut
a) agar setiap pemuda yang hendak
kawin dapat membayar mahar kawin atau belis sesuai ketentuan adat (khusus untuk
suku Buna)
b) agar tradisi adat perkawinan yang
berlaku dapat dipertahankan secara turun-temurun
c) agar setiap perkawinan tidak menyimpang
dari ketentuan adat yang berlaku
d) agar perkawinan itu berdampak positif dan
dihargai oleh masyarakat
e) sebagai ungkapan resmi yang tidak
boleh diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali kedua belah pihak itu
sendiri.
Peralatan,
Perlengkapan, Aturan dan Tata Tertib 1. Peralatan dan perlengkapan yang
dibutuhkan dalam adat perkawinan menurut sistem patrilineal yaitu sebagai
berikut: mahar kawin sebanyak
jenis dengan perincian:
·
uang perak
·
uang emas
·
selimut tenun ikat dan sulam
·
alat-alat mainan bahkan sampai kebun
·
hamba bagi golongan atas Jenis mahar
kawin tersebut adalah:
·
a) Sigal saen hotel nor sigal saen,
membayar uang tunangan;
·
b) Borapit Jewen, membentang
tikar untuk tamu yang datang;
·
c) tagu turing, memelihara istri atau memberi
makan;
·
d) bei gotin, mohon doa restu
leluhur;
·
e) mapo tesi watan lotung, membayar
kelelahan ayah;
·
f,Bokan no Nalas, membayar kelelahan ibu;
·
g) Gubul o Geweel, ganti rugi si gadis;
·
h) sumamal, su soat, pemeliharaan gadis dari
kecil sampai besar;
·
i) lor wa lor wul, perpisahan dengan
suku atau marga;
·
j) tajung lor, tajung hoto, perpisahan rumah
suku;
·
k) Sul o Suliq, perpisahan dengan senjata
keramat;
l) Loq masak, Loeq gol, perpisahan
dengan
contoh adat Atambua Kabupaten Belu-NTT
untuk topik silakan ikuti adat atambua kabupaten belu-NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar