Sabtu, 20 Februari 2016

Nusa Tenggara Timur-Adat Atambua Kabupaten Belu


"Nusa Tenggara Timur- Adat Atambua Kabupaten Belu"

 

 

HAFOLI MALU SEI MORIS


ATAMBUA
Provinsi Nusa Tenggara Timur

Husar Binan Rai Belu
Tetuk No Nesan Diak No Kmanek
Sarwisu Nu Ata, Ha Nu Nain

Dengan Persaudaraan Orang Belu,
Kita Capai Kesejahteraan yang serasi dan Seimbang
Bekerja Seperti Hamba, Makan Seperti Raja


---

Ema Malae !!
Selamat Datang di Atambua Kota Beriman

Luas wilayah:
56.18 km²


Populasi:
62.542 Jiwa (2005)


Sukubangsa:
Pribumi: Timor Belu
Pendatang: Dawan, Tionghoa, Jawa, Bugis


Bahasa:
Tetun




Agama:
Katolik (95%)


Jarak dengan ibukota provinsi:
283 Km

KABUPATEN Belu yang berada di bagian timur Pulau Timor menjadi perhatian pemerintah
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Posisi kabupeten yang berbatasan dengan Negara Timor Leste ini menjadi perhatian dunia pada tahun 1999 ketika gelombang pengungsi warga Timur Timur memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Kabupaten Belu.Hubungan antara orang Belu dan Timor Leste memiliki sejarah yang sangat panjang. Bahkan beberapa etnis di Belu berasal dari Timor Leste. Tidak heran bila hubungan kekerabatan antara orang Belu dan orang Timor Leste sangatlah kuat. Orang Belu terdiri dari etnis Tetun, Bunaq, Kemak dan Dawan.

Kata Belu yang mengandung makna batinia menggambarkan ikatan jalinan hubungan batinantara kedua pihak, baik yang terikat dalam hubungan "alinmaun" antara dua pihak yang terkaitdalam"alinmaun" tersebut. Sementara Belu dalam arti rohania adalah mengungkapkan rasa kemanusiaan yang tinggi.

Disebutkan juga, orang Belu selalu memberikan penghargaan kepada sesamanya, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Mengakrabkan diri dengan sesamanya pada hubungan antar pribadi, kelompok dan antar etnis dalam suasana keakraban melalui gotong royong, tradisi perkawinan dan ritual upacara adat yang bersifat sakral dan lain- lain.

Dengan demikian, istilah Belu (sahabat) berakar dari falsafah orang Belu yang terdiri dari etnis Tetun, Bunaq, Kemak dan Dawan yang senantiasa menjalin hubungan persahabatan, gotong royong, kekerabatan, toleransi anatara mereka maupun dengan sama lainnya.


SEJARAH
Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah 'Suku Melus.' Orang Melus dikenal dengan sebutan Emafatuk oan ai oan (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekarorangnya dan bertubuh pendek.
Selain para pendatang, yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari Sina Mutin Malaka. Malaka sebagai tanah asal-usul pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka.
Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing-masing daerah berlainan.
Dari makoan Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Naik.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.
Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh Maromak Oan Liurai Nain di Belu bagian Selatan. Bahkan menurut para peneliti asing Maromak Oan kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (Insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Belu, maromak Oan memiliki perpanjangan tangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, Maubara, Biboki dan Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Para pendatang di Belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi sekarang.
Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian selatan dan utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya.
Dalam keadaan pemerintahan adat tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja- raja dengan apa yang disebutnya Zaman Keemasan Kerajaan. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya.
Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama-nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak.
Selain itu, ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara membawahi Dasi Sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau, LIdak, Tohe Manumutin, dan Aitoon.
Dalam berbagai penuturan di utara maupun di selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain.
Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal û usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah. (sumber: Bappeda Kabupaten Belu) (pde@belukab.go.id/bersambung)

Arti Logo

       Bentuk
Ø  Perisai melambangkan alat perlindungan rakyat
Ø  Sisi Lima melambangkan Pancasila sebagai Dasar Negar
Ø   Warna Dasar. Warna dasar Lambang Daerah Kabupaten Belu adalah kuning, merah, hitam, coklat, hijau dan putih; diambil dari warna utama kain tenunan rakyat Kabupaten Belu, yang mempunyai arti :
Ø  Kuning adalah keluhuran/keagungan/kejayaan
Ø  Merah adalah keberanian
Ø  Hitam adalah teguh abadi
Ø  Coklat adalah ketabahan hati
Ø  Hijau adalah kemakmuran
Ø  Putih adalah kesucian
Ø   Arti Gambar Lambang
v  Bintang berwarna emas, melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberi hidup dan menyinari tata kehidupan rakyat Kabupaten Belu pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.
v  Pohon Beringin, yang melambangkan persatuan dan tempat berlindung terletak dibawah pita putih yang bertuliskan BELU, yang berarti Kabupaten Belu memelihara persatuan dan melindungi segenap rakyat Indonesia yang berada di Kabupaten Belu.
v  Bibliku/Tihar, merupakan alat kesenian tradisional Kabupaten Belu sebagai lambang pelestarian kebudayaan Belu dan Bangsa Indonesia
v  Surik Samara, kelewang tradisional yang bertuah sebagai lambang kesiapsiagaan rakyat Kabupaten Belu untuk memerangi musuh – musuh yang merusak persatuan dan mengganggu keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dan rakyat Belu.
v  Padi sebanyak 20 butir berwarna kuning dan batang kapas berwarna hijau sedang berbunga 12 kuntum dihubungkan dengan pita berwarna putih dan tulisan angka 1958, melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus sejarah berdirinya Nusa Tenggara Timur dan kelahiran Kabupaten Belu pada tanggal 20 Desember 1958.
v  Dibawah butir-butir padi terdapat daun bawang putih sebanyak 5 helai berwarna hijau dan dibawah daun-daun kapas terdapat 8 lembar daun cendana sebagai lambang produk andalan Kabupaten Belu.

 

 

 

Nilai Budaya

Hamis Batar Hatama Manaik
Upacara Hamis Batar merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatBelu yang dipimpin oleh Tetua Adat nya menyambut musim petik jagung atau panen jagung,sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta.Hamis menurut bahasasetempat berarti sukur dan batar berarti jagung. Masyarakat percaya bahwa hasil jagung yang akan mereka peroleh merupakan karunia Sang Pencipta. Rasa syukur ini diwujudkan denganmempersembahkan jagung yang terbaik hasil panen kepada Yang Maha Kuasa.
Sebelum upacara dimulai para kepala keluarga turun ke kebun masing-masing untuk memetik sebuah jagung termuda dan paling bagus. Setelah itu mereka berkumpul di tempat upacara dan diadakan seleksi jagung yang paling bagus. Jagung yang paling baik kemudian diletakkan di troman (tiang agung) yang terbuat dari tumpukkan batu yang dikelilingi batu-batu kecil untuk meletakkan jagung baik yang lainnya.
Setelah semua batu tertutup oleh jagung muda, Ketua Adat kemudian memimpin doa persembahan jagung kepada Sang Pencipta dan memohon agar jagung yang dipanen bermanfaat. Seusai berdoa, upacara dilanjutkan dengan menyebar jagung-jagung ke seluruh kebun untuk dipersembahkan kepada Penguasa Tanah, Foho Norai, yang telah memberikan tanah dan kesuburan jagung. Upacara dilanjutkan dengan batar babulun, pencabutan pohon jagung secara utuh, untuk dibawa ke kampung dan diikat pada tiap-tiap kayu tiang agung yang sesuai dengan fungsinya, yaitu karau sarin(untuk beternak sapi), fahi ahuk (untuk beternak babidan fatuk(untuk orang-orang tua atau ektua adat).  Seiring dengan upacara tersebut diadakan batar fohon, yaitu acara pemotongan batang buah jagung menjadi 12 potong untuk diserahkan kepada Ketua Adat, dan selanjutnya Ketua Adat menentukan waktu upacara inti.Upacara inti hamis batar itu sendiri merupakan proses persembahan sesaji/jagung-jagung yang baik yang telah dikupas dan dibakar kemudian dimasukkan kedalam gantang penyimpanan jagung yang disebut hane matan untuk dipersembahkan di tempat-tempat yang dianggap keramat (We Lukik, Rai Bot dll. Pada proses pembakaran jagung, api yang digunakan merupakan api khusus yang disebut Tahu Hai yang dibuat oleh ketua adat dengan menggosokkan sepotong batu berwarna merah dengan sepotong besi yang disertai serbuk dari pohon enau. Pembakaran dilakukan dengan tiga buah tungku yang diiringi dengan pembacaan doa oleh ketua adat.

Hatama Manaik
 Upacar hatama manaik merupakan pelengkap upacara hatama batar, yaitu proses upacara persembahan jagung muda (manaik) dari masyarakat kepada pemimpin masyarakat/raja sebagaiungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas kepemimpinannya.Dalam proses upacara hatama manaik dari awal hingga akhir diatur oleh penghubung raja yang biasa disebut Kaburai.






















v  ADAT  PERKAWINAN  PATRILINEAR  SUKU TETUN
BELU UTARA

 
 
Mengenal Perkawinan Kabupaten Belu khususnya Suku Tetun
Belu Utara Ada tiga jenis perkawinan yang pada umumnya diharamkan oleh masyarakat Belu, baik pada masyarakat matrilineal maupun patrilineal antara lain sebagai berikut, 1. Feton oan, yaitu perkawinan antara saudara sekandung. Jika terjadi maka ungkapannya: asu matan at (anjing yang buta matanya). 2. Oan susun, yaitu perkawinan antar ayah dengan anak kandungnya. Jika terjadi pelanggaran tersebut, maka diistilahkan asu na nikar oan, manu nemu nikar tolun (anjing memakan kembali anaknya, ayam meminum kembali telurnya) 3. Oan no inan, yaitu perkawinan antara anak laki-laki dengan ibunya. Jika terjadi pelanggaran, maka perbuatannya dikatan asu sae tetu, asu nador kaok (anjing menaiki loteng, mengotori sarang). Apabila terjadi perkawinan incest maka akan dihukum dengan hukuman yang keras yaitu pria dan wanita dipaksa untuk mengisap usus babi (fahi ten), serta dikucilkan dari suku (lelen sai). Perkawinan yang dibenarkan dalam adat perkawinan Belu, antara lain sebagai berikut, 1. Anak saudara dikawinkan dengan anak saudari (nan niti hein feto).. 2. Anak mengawini bekas istri pamannaya (oan nola nikar nian kii baki) 3. Paman mengawini kembali bekas istri keponakannya (baba nola nikar nian uma nain uma ruin)
”Model perkawinan ini semakin ditinggalkan seiring dengan perkembangan zaman yang
menganggap bahwa model perkawinan tersebut tidak baik.”
Ada dua macam sistem perkawinan adat yang dianut oleh masyarakat Belu, yakni system
 perkawinan patrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ayah), dan sistem matrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ibu). Sistem perkawinan yang akan dibahas dalam paper ini adalah sitem perkawinan Patrilineal. 2.2. Sistem Perkawinan Patrilineal Bentuk perkawinan ini bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan kelewang agar bisa membeli putus istri. Hal ini berarti istri masuk dalam keluarga lelaki atau suami. Di sini terlihat  bahwa kedudukan wanita sangat tinggi derajatnya karena wanita sesudah kawin dianggap sebagai uma nain atau wanita tuan rumah. Keunikan dari perkawinan patrilineal adalah membayar mahar kawin atau belis sebanyak 24 jenis dengan rincian meliputi uang perak, uang emas, selimut tenun ikat dan sulam, hewan besar, bahkan sampai tanah. Berhubung martabat wanita begitu besar maka pihak keluarga atau klan penerima gadis harus bergotong royong untuk

membeli putus gadis tersebut. Mahar kawin atau belis tersebut menjadi penentu derajat sang suami menjadi lebih tinggi apabila dipenuhi. Perkawinan patrilineal mempunyai beberapa akibat yaitu sebagai berikut: 1. Istri menerima suku suami dan dihormati sebagai wanita utama dalam suku deu gomo dan suaminya momen mone (lelaki tua) 2. Sang suami mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya. 3. Anak-anak masuk anggota suku ayah. 4. Hubungan malu ai bersifat abadi 5. Poligami tidak diizinkan, demikian pula tidak ada perceraian 6. Berzinah dihukum dengan potong kepala 2.3. Tahap Sistem Perkawinan Patrilineal Daerah Belu Adapun tahap-tahap yang harus dilewati oleh seorang pemuda dan seorang pemudi menjelang upacara perkawinan adalah sebagai berikut :
Ba’boe
ü   
(Masa Pacaran) merupakan kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Membuka diri untuk menerima segala masukan sebagai persiapan dalam memasuki masa yang akan datang. Lolo leten (Tahap pengenalan secara akrab)
ü   
Pada tahap ini, pihak keluarga dari kedua insan pun dilibatkan karena ditahap ini, pasangan muda-mudi akan memutuskan sebuah kesepakatan penting dalam rangka perkawinan nanti.
Perlengkapan yang harus disiapkan oleh si pria pada tahap ini adalah fuik (sirih) dan bu’a
(pinang). Acara ini dilakukan hanya pada malam hari. Caranya ialah si pria harus ke rumah si gadis dan menyodorkan sirih pinang yang dibawanya melalui pintu depan rumah bagian atas dalam keadaan terkunci. Keduanya hanya boleh berkomunikasi tanpa bertatapan langsung antara mata dengan mata. Labu feto (Pelamaran)
ü   
Setelah mencapai kata sepakat bahwa kedua pihak setuju untuk melangsungkan perkawinan, maka tahap berikutnya ialah si pria harus melamar si gadis dengan resmi. Tahap ini dilakukan dengan cara, yaitu dengan aikalete (jembatan) dan tanpa aikalete. Aikalete bertugas sebagai  penghubung antara kedua belah pihak. Perlengkapan yang harus dibawa adalah berupa sirih- pinang dan terkadang dibawa pula emas (kalung, anting, gelang dsb). Tara horak (Tukar cincin)
ü   
Tahap ini dikenal dengan fuik tahak-bua tahak atau fuik husu-bua husu, yaitu persiapan meminang. Peminangan itu sendiri dapat berakhir dengan tara horak (tukar cincin). Sang pemuda dan keluarga membawa siri pinang, uang perak, cincin emas satu pasang, dan benang sesuai adat kebiasaan, sedangkan keluarga perempuan menyiapkan kain sarung adat dan lain sebagainya. Tahap pertunangan (Jodoh)
ü   
Pada tahap ini, si pria dan si gadis tidak diperkenankan untuk berpacaran dengan pasangan lain sebab keduanya telah diikat dengan cinta sejati yang akan disatukan pada puncak perkawinan nanti. Bahkan lebih dari itu, si gadis akan dikurung untuk tidak boleh keluar rumah kecuali mendapat persetujuan khusus dari orang tua. Ha lia (puncak perkawinan = pesta adat meriah)
ü   
Puncak dari semua tahap yang dilewati berakhir dengan upacara perkawinan (pesta adat meriah) di rumah si gadis. Keluarga dari kedua pihak akan hadir semuanya untuk menyaksikan awal kehidupan keluarga baru ini dengan memberikan saran dan pengetahuan tertentu yang dikenal

dengan istilah sadan umakain. Tua-tua adat dari kedua belah pihak akan berkumpul di suatu labis (tempat duduk) untuk memberikan nasihat kepada pengantin baru yang akan memulai hidup  baru. Nasihat-nasihat itu menjadi bekal dan modal utama dalam mengarungi bahtera hidup. Tahap pemindahan wanita ke keluarga laki-laki.
ü   
Pada tahap ini keluarga lelaki datang menjemput mempelai wanita. Biasanya ada pihak keluargawanita yang ikut mengantar ke rumah lelaki. Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu digolongkan menjadi dua bagian yaitu sebagai  berikut:

 1. maksud dan tujuan tahap adat perkawinan di suku Marae dan suku Kemak di Belu Utara adalah:
a) perkawinan patrilineal merupakan perkawinan yang dikenal di Belu Utara yang bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan kelewang supaya dapat membeli putus istri. Dengan demikian istri dimasukan dalam klan suami.  
b) Mempererat hubungan antara klan pemberi wanita dan klan penerima wanita.
c) Untuk mendapat keturunan yang akan menjadi ahli waris dalam keluarga lelaki.
d) Agar tradisi adat perkawinan yang berlaku dipertahankan keberadaannya.
 e) Agar setiap perkawinan tidak menyimpang dari ketentuan adat yang berlaku f) Setiap tahapan adat perkawinan yang luhur itu dihargai dan dihormati secara turun-temurun.

 2. Maksud dan tujuan tahapan perkawinan adat suku Tetun dan Buna di Malaka (Belu Selatan), yaitu sebagai berikut
a) agar setiap pemuda yang hendak kawin dapat membayar mahar kawin atau belis sesuai ketentuan adat (khusus untuk suku Buna)
  b) agar tradisi adat perkawinan yang berlaku dapat dipertahankan secara turun-temurun
 c) agar setiap perkawinan tidak menyimpang dari ketentuan adat yang berlaku
 d) agar perkawinan itu berdampak positif dan dihargai oleh masyarakat
e) sebagai ungkapan resmi yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali kedua belah  pihak itu sendiri.
Peralatan, Perlengkapan, Aturan dan Tata Tertib 1. Peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam adat perkawinan menurut sistem  patrilineal yaitu sebagai berikut: mahar kawin sebanyak
 jenis dengan perincian:
·         uang perak
·         uang emas
·         selimut tenun ikat dan sulam
·         alat-alat mainan bahkan sampai kebun
·         hamba bagi golongan atas Jenis mahar kawin tersebut adalah:
·         a) Sigal saen hotel nor sigal saen, membayar uang tunangan;
·          b) Borapit Jewen, membentang tikar untuk tamu yang datang;
·          c) tagu turing, memelihara istri atau memberi makan;
·         d) bei gotin, mohon doa restu leluhur;
·         e) mapo tesi watan lotung, membayar kelelahan ayah;
·          f,Bokan no Nalas, membayar kelelahan ibu;
·          g) Gubul o Geweel, ganti rugi si gadis;
·          h) sumamal, su soat, pemeliharaan gadis dari kecil sampai besar;
·         i) lor wa lor wul, perpisahan dengan suku atau marga;
·          j) tajung lor, tajung hoto, perpisahan rumah suku;
·          k) Sul o Suliq, perpisahan dengan senjata keramat;
l) Loq masak, Loeq gol, perpisahan dengan

contoh adat Atambua Kabupaten Belu-NTT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar